Selasa, 03 November 2015

Asep, Ibu dan Lunturnya Sifat Keibuan Bangsa

Asep, salah seorang sahabat saya sejak kali pertama saya melanjutkan studi di UIN Walisongo Semarang tahun 2010 pernah membacakan puisi tentang ibu. Sambil terisak, suaranya yang tak begitu merdu itu diiringi instrumental. Tak banyak orang tahu kecuali setelah musikalisasi puisi yang dibuat sendiri itu disebar melalui aplikasi soundclaud, media sosial, bluetooth dari teman ke teman. Karena itu asep menjadi pupuler di kalangan kawan-kawannya.

Saya pun menyadari, puisi Muhammad Aseffudin, nama lengkap sahabat saya yang kini diangkat menjadi asisten dosen di tempat kami kuliah itu, adalah sebentuk penghargaan, kado, dan ungkapan kerinduan pada sosok ibu yang  tak kurang dari lima tahun telah dipisah oleh jarak tempuh ratusan kilometer. Dari Rembang, tempat kelahiran Asep, ibunya selalu menunggu kabar. Sesekali Asep pulang untuk menumpahkan kerinduan sebagai bentuk kebaktian.

Saya tahu betul sifat dan watak Asep karena selama bertahun-tahun kami satu atau di sebuah asrama mahasiswa. Di suatu waktu, ia pernah berujar. Katanya, ia tak pernah absen meminta doa ibu ketika hendak melakukan kegiatan penting. Selain menjadi asisten dosen, kini ia kerap mengisi pengajian, diskusi-diskusi, khotbah di masjid-masjid, dan menjadi pengajar di salah satu lembaga pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Semarang. Ibu berperan penting dalam perjalanan karir Asep.

Asep dan seutas tali kebaktian pada sosok ibu sebagaimana terabadikan dalam rekaman suara berdurasi 02:01 menit itu akan tampak biasa. Namun, bagi saya, ia tak biasa karena beberapa tokoh dan budayawan nasional pernah melakukan hal yang sama. Melalui sebuah kesenian, Iwan Fals yang dicatat menjadi salah tokoh kebudayaan dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan IV, (1999), oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah mengurai sosok ibu. “Ribuan kilo jalan yang kau tempuh. Lewati rintang untuk aku, anakmu” kata Iwan memulai syairnya. Setelah berkisah tentang peran besar seorang ibu, lagu yang berdurasi 06:34 menit itu ditutup dengan sebuah kemusykilan membalas kebaikan ibu pada anak, “Siperti udara kasih yang engkau berikan. Tak mampu ku membalas, Ibu”.

Sekitar setengah abad yang lalu, tahun 1966, budayawan Nasional D. Zawawi Imron juga menggubah sebuah puisi dengan judul yang sama, ibu. Tak jauh setelah itu, penyair kelahiran Madura itu diundang ke Belanda hanya untuk membacakan puisi yang berjumlah 27 baris itu. Karena ibu ia bisa naik pesawat di tengah-tengah banyak orang di desanya tak bisa melakukan.

Hingga kini, sepertinya Zawawi tak sekalipun pernah meremehkan karya usang yang secara khusus dipersembahkan untuk sosok yang melahirkannya. Tahun 2014 lalu, ketika ia mendapat kesempatan mengisi diskusi dalam gelar peringatan kelahiran pancasila di UIN Walisongo Semarang, puisi ibu menjadi pamungkas acara diskusi. Sebelum diskusi dimulai, Zawawi mengajak ratusan mahasiswa untuk merenung, mengingat-ingat sosok ibu di rumah. Sebelum itu, puisi ibu juga dibaca dalam perayaan hari ulang tahun sastrawan Nasional Musthofa Bisri ke-70 di Institut Keguuian dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang kini berganti nama menjadi UPGRIS.

“Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala. Sesekali datang padaku. Menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku” kata Zawawi menutup puisinya.

Ibu dan kasih sayang yang dia berikan kepada generasi penerus, tak bisa terbalas dengan apapun. Zawawi dan Iwan percaya, “di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar”. Rasulullah, utusan Tuhan dalam keyakinan umat Islam, jauh hari pernah memberikan penegasan bahwa surga berada di telapak kaki seorang ibu, “Al-Jannatu tahta aqdami al-ummahat” kata Muhammad.

Zawawi adalah Iwan dalam pengertian sosok ibu yang senantiasa abadi dalam diri dan puisi. Mereka adalah Asep dalam rekaman puisi ibu dan di setiap langkah yang mengikutinya.

Ibu Sebagai Simbol

Ibu tak hanya sosok yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Lebih dari itu, ia adalah simbol. Ibu melekat di banyak tempat, tak terbatas dalam jiwa sebagai buah kebatian seorang anak. Ibu menjadi penengah, mediator, dari kemungkinan timbulnya konflik antar jari-jari tangan dan kaki; ibu jari. Ibu menjadi pusat perhatian yang bertaut erat dengan perkembangan, baik ekonomi, politik, maupun kebudayaan; ibu kota.

Ibu adalah sifat tanpa kelamin. Simbol ibu pertiwi dalam bagi bangsa Indonesia menandaskan itu. Namun, dilain pihak, simbol ibu bisa menjadi sebuah kekejian sebagaimana mewujud dalam laku “ibu tiri”. Ibu tiri, istri bapak yang baru itu, dalam banyak kesempatan kerap menjadi hantu gentayangan yang menekan, diskriminatif dan biadab kepada anak bapak.

Ibu tiri yang kejam, ia hanya ibu sebagai tubuh dan organ yang melengkapinya. Dia ibu penebar konflik dan kerusakan bagi kehidupan rumah tangga, bertetangga, berbangsa dan bernegara. Dialah ibu tanpa sifat keibuan yang kini juga dianut oleh sebagian besar bangsa ini.

Ada karena keyakinan, lalu mereka saling hantam. Ada karena suku, ras, etnis, lalu mereka saling tikam. Ada karena uang, lalu mereka korbankan keadilan.

Di jakarta, eksekutif tak berhenti ribut dengan legislatif. Di Jambi, Presiden merasa peduli dan berbela sungkawa dianggap rekayasa. Di Solo, Lentera kritis dianggap musyrik. Di Mataram, mahasiswa dibungkam karena dianggap terlalu kritis. Dan di parlemen sana, DPR adu otak demi kepentingan golongan.

Setiap elemen negara saling berebut benar. Eksekutif menyalahkan legislatif, dan sebaliknya. Rakyat marah. Ia pun dituding karena laku konsumtif yang semakin parah.

Sebagai ibu dari ibu-ibu dan bangsa, ibu pertiwi tentu menangis melihat lunturnya sifat keibuan anak-anaknya. Bangsa ini belum bisa berisikap dewasa, laiknya seorang ibu dengan sifat keibuannya, di usianya yang sudah melebihi setengah abad ini.

Mari belajar kepada Asep, Zawawi dan Iwan dalam memuliakan ibu untuk menghentikan tangisan Ibu Pertiwi.

Semarang, 03 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar