Sabtu, 30 November 2013

Sisi Lain Wanita "Kelabu"

“Anda itu bukan orang yang penting bagi saya. so jangan GR dan PD. Saya juga telah melupakan anda. Jelasnya, saya mati rasa dengan anda, mengerti kan? Nggak usah merasa WAO dan paling hebat. Ada langit di atas langit! Tampang pas2an blagu, huuu,”

Kata itu keluar dalam jendela media sosial Facebookmu malam itu. Entah untuk siapa kata itu kau ucapkan. Yang pasti, akuhanya membayangkan betapa teriris hati seseorang yang kau maksud jika ia membacanya. Hatinya akan terluka, tersedu dengan tangis. Sementara hatimu tertawa bangga tanpa memerdulikan. Barangkali.

Setatusku sebagai lelaki membayangkan seandainya kata itu keluar untukku. Tak ada lain yang akan keluar dari lisan dan kalbu paling dalam kecuali sebuah kebencin yang sangat. Terlalu berani bagi orang sepertimu mengata demikian. Sebuah kecongakakan yang tidak beretika yang keluar dari mulut wanita. 

“Kau terlalu radikal,” kataku kemudian sembari mengintip jendelamu yang lain untuk mencari hubungan kalimat tentang apa yang baru saja kau katakan. Nihil. 

“Apanya yang radikal? Hanya status gila, luapan rasa jengekal saja” jawabmu. 

“Belajar sastra untuk mengindahkan kata, agar setiap luapan emosi menjadi keindahan yang tak tampak kebencian. Namun, itu dirasa sebagai sebuah ultimatum,”

Diseberang sana, kau berfikir, mencari kata untuk kau ucapkan. Beberapa menit berlalu kau kembali berkicau. 

“Iya, ini saya lagi eror saja, serba ngawur. Yang penting cukuplah sebagai katarsisku,” katamu kemudian.
Sepetinya kau mengamini kataku.

Kau pecinta sastra. Begitupun aku walau karyaku mungkin tak sepadan jika diperbandingkan. Kecerdikanmu mengolah kata adalah keindahan yang dapat menyihir pikiran pembaca. Tapi kali ini sastramu tak berlaku. Tak melebur jika luapan emosi menyambangimu. 

Padamu ku katakan:

“Tidakkah kau tahu, kata itu menjadi pisau pengiris paling tajam untuk memutar keadaan menjadi negasinya?”

“Dan itu yang kumau, agresif sedikit, boleh lah,” jawabmu angkuh. 

Kau benar-benar dilanda kebencian. Namun, Aku tak peduli seberapa besar kebencian itu. Yang jelas dan yang ku pahami,  kata itubagian dari penghinaan tingkat akut. Mencederai kebebasan ekspresi natural, membunuh mental dan mencerca kepribadian.

“Itu egois namanya,” bantahku.

“Biarkan saja aku egois untuk malam ini meski kata itu akan membekas seumur hidup untuk dia yang aku benci,”

Satu hal yang masih ku ingat tentangmu di hari yang lalu. Beberapa kali kau bertanya soal agama, filsafat, penafsiran dan lainnya. Keinginanmu untuk tahu banyak hal masih membekas dan membuatku berdecak kagum. Membantumu dalam segala hal yang kau rasa sulit mendapatkannya adalah inginku setelah itu. Pernah kau ku bawa kepada salah seorang teman untuk berdiskusi tentang filsafat. 

“Kalau saya lihat, dia memiliki keingintahuan yang sangat besar,” ujar temanku setelah beberapa saat kau pergi usai diskusi kecil di malam itu.

Aku mengamini kata-katanya. Dari caramu bertanya, aku melihat kau memang demikian adanya. Pertanyaanmu detail dari A ke Z hingga kau benar-benar mengerti maksud suatu gagasan yang keluar dari bibir temanku. Aku di sampingmu ketika itu.

Kau yang cinta pengetahuan. Kau yang cinta seni dan keindahan. Baru saja aku mendengar kata transparan berupa penghinaan. Barangkali ini adalah sisi lain kepribadianmu dan baru kukenali malam ini. 

“Jika kontekstualisasi selalu di kedepankan setidaknya bukan hanya untuk menafsirkan kitab suci. Melainkan untuk menafsirkan hidup dan kata dalam kehidupan. Kata mulut, kata hati, gerak, diam dan segala hal yang bermaksud dan bermakna,” sindirku.

“Iya, sepakat. Tapi, terkadang manusia kalah dengan ego dari pada superego, sebagaimana teori Freud,”
Sepertinya kau mulai paham dengan apa yang kumaksudkan.  Walau sejatinya kau tak begitu menerima dan bermaksud melakukan pembelaan.

“Menyadari bukan untuk dikata dan sekadar menjadi wacana tak bermakna karena minus tindakan nyata. Menata kembali, membuat regulasi diri, berkata dan bertindak sesuai nurani ilahi,” tambahku.

Engkau diam. Entah apa yang kau lakukan diseberang sana. Mencari kata, menerka makna, atau barangkali engkau membenci kataku. Dan setelah setelah itu engkau pergi atau tertidur pulas karen malam mulau larut. Entahlah.

Engkau wanita kelabu yang kucari kunci hidupnya. Setelah itu semuanya akan jelas, engkau pantas atau tidak menjadi bagian dari pewarna hidup, mendengarkan kabar gembira, keluh kesah, dan menjadi seorang pencerita handal tentang perjalananku setelah aku di akhir waktu.  

Aku diam bukan tanpa gerak. Lamat-lamat aku belajar tentangmu dan kepribadianmu. Salah satunya memahami setiap kalimat yang keluar melalui media sosial modern itu.

Aku juga mengoleksi beberapa kata-katamu yang telah berlalu. Untuk apa? Ya, untuk melacak aktifitasmu. Karena setiap statusadalah gambaran dari kehidupan seseorang. Ada waktu dan setting sosial. Dari sana aku belajar tentangmu. Menghubungkan kalimat demi kalimat yang kau tulis dengan alat elektronik guna menemukan keutuhan makna.

“Diam-diam mengahnyutkan,” katamu dalam komentar status Facebookku di lain kesempatan. 

“Ya, diam-diam aku menjadi sorang intelejen yang menyadap pembicaranmu,” gumamku. “Kalau diam ya diam, bagaimana mungkin menghanyutkan,” aku berkilah. 

Engkau mengerti. Kemudian engkau memperjelas perkataanmu. Aku diam dan setelah engkau pergi tanpa sebuah pesan yang berarti.

Tentangmu wanita kelabu. Kutemukan sisi lain darimu malam ini. Akankah kata lain kutemukan di malam-malam berikutnya. Aku Setia menunggu.

Semarang, 01 Desember 2013   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar