Selasa, 29 September 2015

Negeri Panggung

Negeri kita seperti panggung pertunjukan. Adegan demi adegan berganti setiap saat. Media berperan sangat signifikan, menyajikan pergantian sandiriwara, satu demi satu, dari satu genre ke genre yang lain. Beragam tema, tajuk, diangkat: politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, hukum, kekerasan, kriminal, seksualitas dan macam-macam.



Kita berada di dalamnya, bermain peran: menjadi lakon, menjadi penonton, menjadi komentator, menjadi sutradara, menjadi kameramen, dan sebagian tak menghiraukan karena, dianggap, tak ada pertunjukan yang menarik perhatian.

Negeri kita negeri panggung. Dari hulu ke hilir, dari Sabang sampai Merauke didirikan panggung-panggung: panggung pertunjukan untuk masyarakat yang gemar menonton. Tak kurang dari seratus, dalam sehari, adegan disuguhkan dan dinikmati ramai-ramai. Sebagian penonton bingung mengingat alur setiap cerita. Sebagian yang lain hafal betul lakon, latar, dan apa misi dan siapa yang bermain dibalik pertunjukan. Sebagian yang lain hanya bergeleng-geleng. Ada yang hanya diam tertegun. Ada pula yang tak kuasa membendung air mata.

Sementara, di bagian yang lain, di balik pertunjukan, para sutradara dan perancang sinema tertawa. Menonton para penonton. Barangkali, sambil merokok dan minum kopi. Mungkin juga, sambil berpesta paha dan buah dada.

Negeri kita dihuni oleh aktor-aktor pembuat pertunjukan yang mahir dan cerdas. Tak usai satu pertunjukan, pertunjukan lain disajikan. Dalam satu waktu, penonton dapat memilih ratusan jenis pertunjukan yang diingin. Mereka dimanjakan dengan kebebasan, memilih satu atau banyak: sesuai kehendak dan selera.

Di Negeri Panggung, siapapun boleh unjuk jari, mendaftar menjadi lakon kalau bosan menjadi penonton. Namun, tidak seperti pertunjukan yang lain, seperti film-film kartun,  sinema Indonesia membutuhkan lakon yang benar-benar pemberani. Terutama berani mati, walau pada akhirnya tak diadili, apalagi digaji. Setiap panggung di pelosok-pelosok negeri menuntut demikian. Yang berani yang akan mati, atau sebaliknya ia semakin kokoh berdiri.

Di bagian pelosok timur sana sebuah pertunjukan mengerikan baru saja terjadi. Penonton yang baik  patut berbelasungkawa atas kematian Tosan dan Salim Kancil. Dua lakon pertunjukan dalam sinema “Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Vs Penambangan Legal” ini harus mati karena berperan sebagai aktivis lingkungan di Desanya, di daerah Lumjang Jawa Timur.

Tosan dan Salim  tidak seperti Ultramen, Batman atau Spiderman yang punya keahlian khusus. Atau, seperti Wiro Sableng yang punya kapak 212 dan pukulan matahati. Ia hanya manusia biasa yang punya keberanian meperjuangkan lingkungan pesisir di Lumajang. Keberanian tidak mungkin ampuh melawan 30 pengeroyok yang menyeret, memukul, menggergaji, membantai dirinya. Walau ia, sedikit, kebal, dua lakon itu harus menerima nasibnya sebagai lakon pertujukan yang minus keadilan, pengadilan dan pengamanan negara sebagai penyedia wilayah pertunjukan.

Riwayat lakon Salim dan Tosan akan membuka mata yang masih punya mata, akan membukakan telinga yang masih bertelinga, akan membukakan mulut yang masih punya mulut bahwa: kita berhak menjadi lakon yang mampu melihat, mendengar, untuk kemudian berteriak melawan ketidakadilan, kekerasan, kesewenang-wenangan siapapun, temasuk negara.

Negeri panggung akan selalu menyajikan pertunjukan-pertunjukan. Entah sampai kapan. Barangkali, sampai kita bosan menonton, lalu kita mati karena kebosanan itu. Mungkin juga sampai kita, memilih, menjadi lakon dan mati terbunuh dalam satu pertunjukan yang mengerikan.

Mari belajar menjadi lakon agar tak mati bosan di Negeri Panggung.

Semarang, 29 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar