Senin, 16 September 2013

Catatan Kecil Anak Rantau tentang Kampung Sekarat yang Melahirkannya



Tiga tahun aku sudah meninggalkan rumah. Pergi ke sebuah negeri yang asing yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Barangkali inilah yang disebut
dengan anugerah
tuhan hingga aku bisa berfikir dan bertindak serta bercita-cita secara bebas. Di tempat itulah aku telah memulai kehidupan baru,
belajar bersosialisasi, menata diri, mandiri dan belajar untuk mengerti hakikat hidup. Di tempat itu akan mendapatkan banyak hal yang nantinya akan kubawa ke kampung. Tentu hal yang positif yang akan berdampak baik bagi kampungku.
Hal ini dilarbelakangi oleh keadaan kampung yang selama ini tak lebih dari kampung comberan, kampung tertindas, kampung yang hanya menjadi permainan penguasa. Kampung yang di pimpin oleh kepala desa yang bejat. Bejat secara moral dan goblok secara ilmu pengetahuan. Tak tahu kemajuan. Dan buta perkembangan luar.
Mereka diangkat jadi penguasa karena kekuatan mereka yang dulunya dapat menggertak masyarakat. Mereka punya kekuatan, baik secara fisik maupun ekonomi. Masyarakat diancam. Ia dibayar dengan uang yang sesungguhnya adalah milik sendiri. Ketakukan masyarakat menjadikan ia terpilih menjadi kepala desa.
Ya, begitulah. Kepala desa yang hanya ingin meningkatkan popularitas.Sumpah serapah yang ia katakan di awal ia ingin menjabat tak lebih dari buayan belaka. Masyarakat semakin miskin. Ia dimiskinkan karena sebagian haknya dirampas untuk kepentingan sendiri. Di saat desa sebelah telah mengalami berbagai macam perkembangan, baik dalam ilmu pengetahuan atau pembangunan, desaku masih klasik. Ia berjalan seperti apa adanya. Yang jadi kuli masih tetap pada kedudukannya, yang setiap hari pergi ke sawah menggarap tanah tak terlihat perubahan.
Aku berfikir ini adalah tanggung jawabku sebagai anak muda. Karena pemuda sejatinya adalah pemimpin masa depan. Aku tidak boleh menjadi pemuda laiknya pemuda kebanyakan yang telah tumbuh di kampungku. Mereka sudah banyak terpengaruh oleh ulah para penindas itu. Aku yang sudah pergi beberapa tahun yang lalu, harus membawa kehidupan baru yang menjadikan kampungku lebih maju.
Banyak hal yang harus aku lakukan. Mulai dari mencerdaskan generasi muda yang ada di kampung hingga pada persoalan moralitas yang sudah carut marut. Moralitas adalah hal utama yang perlu dibangun. Dengan begitu penindasan, perampasan hak, dan kesewenang-wenangan tidak akan terjadi.
Aku akan memulai dari mengumpulkan orang-orang potensial yang masih punya keinginan untuk maju. Kami akan bersatu melawan penindasan. Menundukkan penguasa yang lalim. Kemudian menciptakan penduduk yang bermartabat.
Setelah itu, aku akan mengembangkan pendidikan, lapangan pekerjaan dan memeberikan soft skill untuk masyarakat. Mengubah kehidupan yang semula klasik, melarat, menjadi kehidupan yang menyenangkan.
Aku sudah mulai berdiskukusi dengan salah seorang teman. Aku mengagumi temankuku itu lantaran sejak awal aku mengenalnya, ia sudah mulai merancang sebuah pembangunan di kampunya. Terutama juga pembangunan moral. Ia mengumpulkan anak muda di kampungnya kemudian membentuk organisasi pemuda yang secara spesifik membincang masa depan pemuda dan kampung. Misinya tak lain menciptakan kehidupan yang bermartabat. Kampung yang cerdas dengan mengembangkan sumber daya.
Rupanya tak begitu mudah jika membincang masyarakat yang ada di desa. Dengan beragam pemikiran dan orientasi hidup yang mereka inginkan, teramat sulit menyatuka visi tersebut. Salah satu permasalah mendasar adalah, kita selaku konseptor harus siap dibenci, dicaci maki dan diperlakukan secara tidak wajar.
Itulah yang harus aku persiapkan terlebih dahulu. Menyiapkan diri menghadapi beragam tantangan yang harus kuhadapi. Tentu saja permasalah di kampung yang aku anggap lebih besar dari masalah yang ada di kampung temanku itu, barangkali yang akan menjadi taruhan adalah nyawaku sendiri. Apa lagi berkaitan dengan kepala desa yang angkuh yang sekaligus juga menjadi bos bajingan di kampungku.
Aku mulai merancang strategi. Salah satunya aku menghubungi temanku yang juga sepertiku. Ia pergi ke sebuah negri yang cerdas yang nantinya jiga akan mengembangkan kemampuannya di kampung. Aku sudah memiliki teman yang memiliki satu misi denganku.
 ***
Kalau dilihat sepintas secara keamanan, kampungku terbilang aman. Hal ini dapat kulihat dari tidak adanya pencurian sejak beberapa tahun lalu ketika kepala desa yang sekaligus bos bajingan itu sudah menjabat menjadi kepala desa. Namun, ya itu, lagi lagi sebenarnya masyarat dibodohi dengan hanya meminta dan menuntut keamanan, tanpa menuntut hak lain yang seharusnya ia dapatkan.
Hal lain yang terjadi, meskipun aman secara fisik, justru yang menjadi korban adalah kampung lain. mereka menjadi korban kebejatan orang-orang bejat di kampungku. Siang-dan malam kerusuhan hampir terjadi di mana-mana. Siang hari adalah hari pertengkaran yang dipelopori olah anak muda. Membuat ulah dimana-mana. Sedangkan malam hari yang terjadi adalah pencurian yang membabi buta.
Akhirnya, siapa yang tak kenal kampungku. Kampung yang terletak di daerah terpencil, terdiri dari perbukitan. Hampir seluruh kampung dalam satu kabupaten mengenal kampungku. Sayangnya, ketenaran itu bukan karena kampungku subur, bukan karena budaya yang bagus, bukan karena sosial dan ekonomi yang mapan. Melainkan kampung penindas. Kampung yang menjadi tempat persembunyian orang-orang penindas, maling, rampok, penjudi, pemabok dan lain sebagainya.
 Sebagai anak muda yang lahir di sana aku terkadang merasa malu jika ditanya orang daerah asalku. Sesekali aku ingin sekali mengelak dengan mengakui kampung lain sebagai kampungku. Tap perasaan tetap tidak menerima. Bagaimanapun ia adalah kampungku. Kamping yang menjadi asal mula aku hidup, dan dilahirkan di sana. Mencintai kampung sendiri seperti halnya nasionalisme, mecintai tanah air.
Oleh karena itu, yang terpenting yang harus aku lakukan adalah merubah citra jelek yang selama ini telah melekat pada orang-orang harus aku rubah hingga kembali mendapat cirta yang baik. Dengan cara menumbangkan pemerintahan yang sewenang-wenang dan menggantinya dengan pemerintah yang sholid dan memihak kepada masyarakat kampung.
Tentu saja ini membutuhkan tenaga yang menguras. Karena akan ada pihak yang tidak menerima terutama dari pihak oposisi. Yakni, pihak maling dan bajingan dan komplotannya. Untuk orang ini aku berencana untuk menjadikan aparat desa yang khusus untuk menangani bidang keamanan. Kekecewaan mereka dengan sistem yang baru akan aku beli dengan uang. Akan aku jamin kehidupan mereka khususnya berkaitan dengan kebutuhan ekonomi. Karena aku melihat, sebagian mereka yan bergabung dengan komplotan bajingan dan maling itu lantaran mereka tak punya uang untuk hidup. Di tambah mereka yang malas untuk bekerja keras. Mereka tak ingin hidup susah hingga perbuatan bejatlah yang menjadi pilihan.
***
Tiga tahun aku berada di negeri orang. Namun pikiranku tidak perlah lepas dari cita-cita membangun desa. Aku tak begitu memikirkan kota orang. Karena mereka sudah memilik masyarakat sendiri untuk memikirkannya. Kalau aku memikirkan daerah orang, maka siapa lagi yang akan memikirkan kampungku.
Aku melihat banyak sekali kesalahan-yang telah dilakukan olah seorang perantau ketika ia telah sukses di daerah rantau. Kebanyakan mereka tinggal di daerah rantaunya dan melupakan kampung halaman mereka. Mereka egois. Mereka tak sadar kalau tampa kampung yang melahirkan mereka, ia tak akan seperti sekarang ini.
Aku akan menjauh dari sikap-sikap seperti itu. desaku adalah surgaku. Tempat yang telah melahirkan aku. Aku harus menjaganya dari setiap gangguan dan kerusakan karena ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Kampungku
Kampungku
Kampungku saat ini menjadi kampung sekarat, kampung melarat, kampung bejat dan kampung yang tidak bermartabat.
Tunggu kedatanganku. Aku merindukanmu dengan wajah yang baru.


Semarang, 16 September 2013
15.34 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar