Jumat, 25 Agustus 2017

Menyadarkan Diri Menuju Kesadaran Tuhan

Sesungguhnya hidup tidaknya kita- manusia hanya berpangkal pada kesadaran. Kesadaran tertinggi adalah kesadaran tuhan yang kesemuanya berasal usul dari kesadaran diri.

Dialah kesadaran yang membuat kita tiada pernah guncang, gelisah dan gundah gulana. Sebab ada tali yang simpul menyinpul bahwa kita tiada sedetikpun pernah lepas dari tawanan. Tiada kebebasan yang sejatinya kebebasan. Kebebasan hanya bahasa manusia yang terbatas pada definisi dan kalimat-kalimat singkat.

Aku yang sadar atau engkau yang sadar atas diri selalu mengerti akan bisikan-bisikan nurani. Dia mula-mulanya bisikan murni soal baik-buruk atau apa yang seharusnya atau tidak seharusnya kita utamakan. Bahasa ilmiah mengumpamakannya dengan sebuah institusi hati nurani.

Kalau kita mendengar kabar baik dan seharusnya kita kerjakan lalu kita mengerjakannya sesungguhnya kita telah berada pada kesadaran ilahi itu. 

Ada tiga bisikan yang selalu menyertai diri. Bisikan itu mempengaruhi sampainya pada kesadaran diri atau sebaliknya. Mula-mula sebagaimana telah tersebut adalah bisikan tuhan atau nurani. Kemudian bisikan syahwat. Kemudian bisikan setan, pangkal sesat dan menyesatkan.

Bisikan yang tersebut terakhir boleh jadi tanpak sangat jelas diterka. Tetapi kedua dan pertama yang kadang kala absurd-amat sukar untuk dibedakan. Karena terkadang mewujud kebajikan.

Katakanlah kita sedang sibuk makan tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang, gusarkah kita atau tetap tenangkah kita karena jika lekas-lekas shalat khawatir bahwa shalat kita akan terganggu karena makanan.

Nurani sebetul-betulnya sadar bahwa shalat lebih baik. Tapi sebelum kebaikan terwujud perdebatan hebat terjadi dengan shawat. Akal kemudian mendorong dengan membuat analogi-analogi yang logis-masuk akal.

Situasi ini kadang kala juga kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yang lain, misalnya, tatkala ada pengemis. Kita punya uang mula-mula kita terdorong untuk memberi. Kita berpikir kemudian dengan menganggap bahwa diri kita masih lebih butuh. 

Ditambah pengetahuan kita sebelumnya bahwa kita pernah melihat ditelevisi ada pengemis yang begitu kaya sehingga akhirnya kita tak jadi memberi. Maka saat inilah sebenarnya kita terjebak pada bisikan setan atau setidak-tidaknya bisikan syahwat yang disahkan oleh akal.

Maka tidak salah jika Hamka pernah memberi nasehat baik. Bahwa kadang kala kita perlu memilih pekerjaan yang lebih berat diantara dua pilihan. Sebab meskipun berat buahnya lebih manis. 

Kesadaran diri-kesadaran ilahi adalah dorongan bahwa kita memberi karena sebab nurani mendorongnya. Kita melakukan yang baik-baik itu karena sebuah kemuliaan. Bahasa sehari-hari kita menyebutnya dorongan moral yang bersumber dari nurani.

Kita melakukannya atau tidak bergantung pada: sedang ditingkat manakah kita sebenarnya. Setinggi-tinginya tingkat atau serendah-rendahnya. Kita sudah menyadari diri ataukah masih suka menyibukkan diri.

Katanya, manusia ada tingkat: mencari kesaktian (kesakten), mencari dunia untuk menfasilitasi kebaikan (kemoten), kemudian mencari kemuliaan (kemulyan). Yang tersebut terakhir kita telah sadar dan menikmati betul kehidupan, asal tidak dalam langkah yang menyebakan timbulnya kemarahan tuhan. Itu kesadaran diri, menyadari diri karena kesadaran tuhan dalam diri.

Makanya nabi bersabda: ketahuilah dirimu maka engkau akan tahu tuhanmu. Kita boleh menyebutnya ini bagian dari salah satu penekanan ajaran tasawuf. Tapi kita juga tak bisa menyangkal bahwa "mengetahui diri akan sampai pada pengetahuan tuhan" bukan mistis tapi sangat epistimologis dan logis.

Kesadaran tuhan (yakni kesadaran diri), berdampak pada ketenangan hidup. Kita tak merasa rendah dari yang lebih tinggi (karena status sosial). Juga tak gengsi ketika di tempat (yang mungkin dianggap) rendah karena tak pernah merasa tinggi.

Kosekuensi dari itu semua, maka sebenarnya kitalah itu kelompok elit menoritas, pejuang tersisa di sebuah negeri. Kelompok minoritas tak berati kelompok yang terpisah dari kelompok-kelompok besar atau dari kelompok yang semula utuh lalu terpecah. Namun, kelompok elit menoritas secara kualitas.

Kitalah itu bangsa Indonesia yang seharusnya dan sesungguhnya. Kelompok yang berdasarkan pancasila sejati: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan dan berkeadilan.

Mari kita belajar mengkaji diri dan sadar diri. 

_______________
Catatan lepas diskusi Gambang Syafaat: Pejuang yang tersisa. Masjid Baiturrahman Semarang, 25 Agustus 2017

Rabu, 23 Agustus 2017

Maha Koslet Ahlu Nyunnah Wahaboy dengan Segala Cara Berpikirnya

Sebelum saya mulai, saya tegaskan bahwa saya bukan seorang mantri. Saya pun tak tahu tetangga sebelah yang mengaku dari aliran wahaboy itu sedang panas-dingin, puyeng-puyeng, nyeri kepala atau baik-baik saja dan sehat sedia kala.

Saran saya, kalau matanya sudah terasa melihat kunang-kunang atau agak gelap-gelap gimana gitu, segeralah ke dokter atau ke apotek terdekat untuk beli kapsul.

Setelah itu dengarkan hujatan-hujatan saya baik-baik. Ambil kopi, kalau suka merokok, boleh sambil rokokan. Tapi ingat, wabil kusus bagi yang ngaku-ngaku wahaboy, kelompok yang katanya paling ngislam dan nyunnah itu, nggak boleh bawa golok atau parang. Karena saya hanya manusia biasa yang lemah dan masih takut mati muda. Mana belum kawin juga. #duhdek.

Baik. Biar nggak bertele-tele, saya langsung ke pokok persoalan yang akhir-akhir ini sering membuat mata saya merah.

(bukan karena sakit mata atau kemasukan debu lho, ya)

Itu semua karena kamu, Hab. camkan!
Mentang-mentang dari arab, ngaku-ngaku nyunnah trus yang lain bidngah, syiah, kapir, darahnya halal.halal palamu peang?

Baik, saya lanjutkan.

Jadi masalahnya begini,

Saya dengar-dengar ente bilang Syiah itu bukan Islam? Bener? 

lalu ente bilang NU itu Syiah? Iya kan?

Terus, terus, ente ngaku-ngaku Islam sendiri? Islam paling benar menurut gusti Allah? warbyasah.

Sebentar, sebentar. Kalau saya lihat dari tanpangmu nih ya, ente kok terlihat suram. Apa gara-gara brengosmu yang tebal, sampai-sampai batang hidungmu hampir tak kelihatan itu, terus utekmu juga ikut-ikutan rusak, gitu?

Ah, ada-ada saja ente ini. Ente iku neng kene tamu. Ojo kemaki. Sebelum bocah cilik, picek, seperti ente itu lahir, negara Indonesia sudah ada. sudah lahir dengan beragam budaya, suku, ras dan sak piturute.

Ojo ngunu to bos. Haruse ente sopan, gak oleh celelek an. Apalagi coba-coba bikin opini Syiah Bukan Islam, NU itu Syiah. Terus kalau sudah begitu ente akan bilang NU itu bukan islam, kan? Logika macam apa itu yang ente pakai.

Tak kandani yo, NU itu ormas paling gedi neng kene. Wargane yo okeh.Bolone yo Podho ae. Salah sijine yo Muhammadiyah. Walaupun belakangan ini terlihat seperti orang berantem jangan dikira musuhan. Itu sebenarnya hanya bergurau agar makin mesra setelahnya.

(Biasa donk, masak suami istri nggak ada berantem-berantemnya)

Tapi kalau ente macam-macam, jangan harap diberi ampun. Jadi, jangan macam-macam. Ente tau karena apa?

Ya karena NKRI harga mati. NKRI sudah islam. Tak perlu ente islamkan lagi. Islamu itu cocoknya di Arab. Bukan di sini. Paham?

Saya ingatkan nih ya. Kalau ente bilang Syiah bukan Islam lalu NU itu Syiah tentu cara berpikir ente itu keliru. Logika yang ente pakai itu kurang tepat. Tentu tak sesuai dengan prinsip logika umum. Karena premismu memang salah. Kalau premis yang ente pakai salah, jelas kongklusimu juga salah.

Nggak percaya?

Ayo kita cek. Ini sekalian ente tak ajari cara membuat premis-premis yang benar agar kesimpulan ente juga benar. Tentu saja berdasarkan ilmu logika yang sudah dipakai beratus-ratus tahun. Mulai Kong Sokrates sampai ahli-ahli pikir jaman sekarang. Nanti ente pasti mengerti.

(Kecuali ente masih punya dan otaknya dipakai sih, ya).

Pertama, yang perlu diingat, ilmu logika yang dibikin dari premis-premis dan konklusi itu namanya Silogisme atau berpikir deduksi. Terus, Silogisme itu terdiri dari premis Mayor dan Premis Minor. Dari sana bisa terbentuk kongklusi. Bahasa Indonesianya: Kesimpulan.

Kedua, hukum Silogisme, Premis Mayor atau yang disebut kesimpulan umum musti berupa kesimpulan besar. Sedangkan Premis Minor musti lebih kecil. Dan, satu lagi, kata persamaan harus disebut dalam premis minor.

Yang perlu dicatat, kesimpulan berupa premis, baik Mayor atau Minor, harus benar. Kalau tidak, maka sesatlah kesimpulan yang berupa kongklusi nantinya.
Sekarang perhatikan dengan teliti. Karena ini sudah mau memeriksa logika ente (wahaboy).

Ente bilang: (1) Syiah Bukan Islam/Kafir (Premis Mayor) (2) NU itu Syiah (Premis Minor). Jika ikut hukum logika, maka kongklusinya: NU itu bukan Islam/NU itu kafir.

Terus ente juga bikin kesimpulan sendiri: wahaboy itu Islam. (Lha kok, enak men, bikin kesimpulan sendiri.)

Berdasarkan hukum Silogisme ente itu benar. Tapi cacat karena bangunan premisnya kurang tak sesui hukum logika. Lha kok seenaknya sendiri bilang Syiah bukan Islam, NU itu Syiah, sehingga NU bukan Islam, terus ente sendiri yang Islam?

Islam kan shadat, shalat, zakat, puasa, haji. Bukannya, baik Syiah atau NU juga melakukan rukun-rukun itu.
Kok ente nuduh-nuduh mereka bukan Islam, kapir, dan masuk neraka.

Situ waras?

Semarang, 24 Angustus 2017

Selasa, 22 Agustus 2017

Nasionalisme Alas Kaki

Siapa yang tidak mengenal alas kaki, alat paling bawah yang digunakan untuk melindungi kaki agar tidak kotor, tidak tertusuk beling atau duri?

Ya, seberapa mahal harga alas kaki dibeli, entah berbentu sepatu atau sandal, tebal atau tipis, tinggi atau standar, alas kaki tak pernah bisa menggantikan peci atau dasi. Alas kaki berada di tempat serendah-rendahnya aksesoris manusia. Bagaimana kualitas nasionalisme bangsa Indonesia setelah sekurang-kurangnya 72 tahun merdeka dan berhasil mengusir penjajah keparat itu?

Kiranya tak berlebihan seumpama nasionalisme bangsa ini saya nilai masih sejajar dengan alas kaki.Nasionalisme yang serendah- rendahnya nasionalisme. Nasionalisme lampau, seperti kita seolah masih dalam perang mengusir penjajah dari bumiputra.

Sebelum menganggap pernyataan saya ngawur, sebelum menghujat saya, kemudian saya menerimanya dengan lapang dada, mari kita simak serentet dua rentet kejadian yang mengatasnamakan cinta tanah air atau sikap nasionalisme itu sendiri. Setidaknya yang masing hangat: bendera Indonesia kok jadi putih merah?

Ketahuilah, bangsa Indonesia sekarang sedang marah karena benderanya dipasang terbalik. Katanya, kemarahan itu, karena rasa nasionalisme.
Di tengah-tengah banjur hujatan terhadap Malaysia itu, saya mungkin menjadi satunya-satunya orang yang paling bersyukur atas tindakan konyol Panitia Sea Games 2017 itu. Setidaknya, karena kesalahan itu, entah disengaja atau tidak, lahirlah tulisan ini. Selebihnya, simbol negara yang dipasang terbalik itu sedikit banyak mengurangi aktifitas hujat menghujat sesama bangsa Indonesia.

Hujatan yang seharusnya dilakukan kepada saudaranya sendiri, kini masih mengalir deras kepada Panitia Sea Games, dalam hal ini pemerintah Malaysia sebagai tuan rumah. Saya pun seolah kembali tersadar bahwa rasa cinta terhadap tanah air masih melekat di hari bangsa Indonesia.

Entah, itu keluar dari kesadaran berbangsa yang mencintai tanah air sendiri atau karena kelihaiaannya dalam menghujat sudah siap bertarung di medan “perhujatan” di era informasi.

Yang jelas, apapun suku atau agamanya, pendukung partai A atau B, kini sepakat dengan presiden. Yang menolak atau yang mendukung perpu, yang membenci Muhammadiyah atau NU, kini bangsa Indonesia satu hati dengan Joko Widodo: Bahwa sesungguhnya Malaysia harus minta maaf. Titik!

”Karena ini berkaitan simbol negara dan nasionalisme bangsa Indonesia” begitu kira-kira kata pak Joko.
Lalu, saya seyakin-yakinnya, haqqul yakin, atas pernyataan pak Joko ini seluruh bangsa Indonesia bilang “Amin”. Sudah saya cari, kesana kemari, tapi tidak saya temukan komentar berseliweran di media sosial yang kemudian mendukung Malaysia, dan tak perlu negara tetangga yang satu ini minta maaf atas “kedzoliman”nya memasang bendera asal-asalan.

Dan untung juga bu Fatmawati sudah kembali kehadiratnya. Kalau tidak, mungkin juga beliau ikut marah karena tidak sesuai dengan bendera hasil jahitannya sebelum dikibarkan di istana merdeka.

”Pokoknya Malaysia harus minta maaf. Nggak cukup pakai lisan, harus resmi dengan tulisan, tintanya hitam, diprint, nggak boleh tulis tangan. Kalau perlu diantar jalan kaki dari Malyasia ke istana peresiden”.

Kira-kira begitu komentar pedas, orang yang penuh emosi dan menilai kesalahan bendera ada unsur kesengajaan, di media sosial.

”Masak iya event sekelas Sea Games bisa tidak teliti. Malaysia pasti sengaja bendera kita dibuat salah,” kata yang lain.

Sebagian ada yang mengelus-ngelus punggu temannya yang sedang emosi itu. Katanya, mungkin Malaysia memang memang tidak sengaja. Tak usah emosi lah. Yang penting Malaysia mau minta maaf.

Saya yang melihat komentar-komentar itu kadang-kadang hanya geleng-geleng kepala. Meskipun begitu saya tak berani memaki. Karena jelas saya akan dimaki-maki. Biar bagaimanapun saya harus mendukung karena inilah salah satu wujud kecintaan bangsa Indonesia terkada tanah airnya.

Walaupun saya agak kaget karena nasionalisme bangsa seolah masih pada kelas itu-itu saja.

Di satu sisi ya wajar saja. Mungkin mereka hanya lebih sering membaca sejarah perlawan bangsa Indonesia waktu jaman penjajajan. Terutama perjuangan para pahlawan pada peristiwa 10 November 1945, dimana, perlawanan dilakukan secara masif di berbagai daerah di Indonesia dalam rangka mengusir penjajah, sekali lagi, yang keparat

Tapi mereka lupa satu hal, bahwa Bung Karno pernah berpesan laiknya Nabi Muhammad berpesan setelah perang badar. Kalau Nabi Muhammad berpesan bahwa ada peperangan yang lebih dahsyat yaitu perang melawan nafsu, bapak prolamator kemerdekaan itu berujuar: “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri!”

Inilah perjuangan yang semestinya kita utamakan sebagai bentu kecintaan terhadap tanah ngair Indonesia. Implikasinya macam-macam. Kita fokus ke dalam tapi bukan berarti tak waspada terhadap gangguan dari luar. Kita harus perkuat pertahanan agar tak berani lawan, bangsa asing itu, menikam.
Inilah nasionalisme peci. Nasionalisme paling tinggi dan terhormat. Murah harganya tapi bertempat di kepala dan sangat terhormat. Demikianlah, nasionalisme itu pakai otak. Bukan dengkul. Karena sekarang bukan jaman senapan. Melainkan ilmu pengetahuan.

Wahai bangsa Indonesia, camkan ini! Kalau perlu rekam pakai handphone, pakailah headset, dengan sebelum dan sesudah tidur!

(maaf jika saya menyampaikanya terdengar agak emosi, sebenarnya saya pura-pura).

Dan biar biar bagaimanapun, sikap sebagian bangsa Indoensia yang menghujat Malaysia itu, perlu kita beri apresiasi. Itulah cinta tanah air mereka. Itu nasionalisme mereka. Meski, menurut saya, memaknai nasionalisme hanya semacam itu agak terdengar klasik. Serendah-rendahnya nasionalisme.

Terus, nasionalisme yang modern bagaimana, pak? ya seperti kata Bung Karno donk! melawan penjajahan oleh bangsa sendiri, atas tanah airnya sendiri. Caranya, isilah kemerdekaan sesuai profesi, kedudukan, dan tugas masing-masing.

Yang jadi petani, ya bertanilah dengan giat. Yang jadi nelayan, melautlah dengan rajin. Tapi jangan pakai cantrang karena bu Susi sudah melarang. Juga jangan melaut kalau ombak lagi tinggi karena bisa karam. 
Trus, yang jadi pedagang, berdaganglah dengan jujur. Yang jadi siswa atau masiswa, belajarlah yang rajin karena suatu saat, kalian-kalianlah wahai mahasiswa, yang akan mengurus bangsa ini.

Paling penting juga mellek teknologi dan paham arus informasi. Biar nggak suka share sana ini dan percaya begitu saja berita bohong. Sudah gede kok mau saja dibohongin.

Trus yang jadi mentri? DPR? MPR? MK? KPK? dan presiden tugasnya apa?

Ya sama. Tugas pemerintah, begitu juga rakyat, seperti yang diungkapan filosof cina, Confucius, ketika ditanya apa yang akan dilakukan ketika menjadi memimpin.

”Satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah pembetulan nama-nama. Hendaknya penguasa menjadi penguasa, mentri jadi mentri, ayah menjadi ayak, dan anak menjadi anak,”

Tugas pemerintah, wakil rakyat, yang duduk di gedung ber AC, digaji dari pajak rakyat, ya itu saja. Cukup. Tak ada lain. Titik. Bukan malah nyari sampingan dengan korupsi, glembang glembung anggaran pembangunan.

Karena-ingat!-anda bukan orang sembarangan lho, pak. Anda itu kaum terdidik dan terpelajar. Sudah habis banyak duit untuk sampai singgasana. Maka, semestinya menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. hukum perundang-undangan perlu dijalankan dengan waras, sesuai logika dan berdasarkan ilmu pengetahuan yang sudah anda miliki. Itu baru namanya nasionalisme.

Bukannya malah ribut terus, saling hardik biar dibilang kristis lah, gedung DPR miring kek, giliran korupsi semuanya pada diam-diam. Huh! Payah! (Yo po ra bro?)

Sudah dari sononya kali ya. Berarti benar donk, kata pakde Karno, bahwa dialah sebenarnya penjajah kelas elit bin ajaib yang harus dilawan dan dihantam pakai pedang dan senapan. Kalau perlu, tambah sekalian mambu runcing dan bambu tumpul, biar mirip perjuangan para pahlawan jaman dulu.

(Ampuni hamba jika kata-kata saya ini  termasuk penistaan, pak!
dan jangan hukum saya dengan Undang yang sampeyan-sampeyan buat atas nama ketertiban dan demi kemakmuran rakyat itu!)

Tapi sungguh, perilaku bapak selama ini jauh dari moralitas. Saya yakin seyakin-yakinnya. Karena saya sudah bertanya kepada ahli moral. Dia orang luar negeri. Lebih hebat dari bapak-bapak. Namanya Lawrence Kohlberg.

Sekali lagi, saya memang perlu sengaja pinjam teorinya agar saya tidak dihukum karena dinilai mencemarkan nama baik, menuduh yang bukan-bukan, dan dikira asal bicara.

Dengarkan!

Pak Kohlberg bilang begini: perkembangan moral manusia itu, termasuk para pejabat, terbagi dalam tiga tahap:

Satu, mohon diingat, ia menamainya prakonvesional. Ini moralitas anak-anak. Kira-kira usianya enam tahun. Moralitas pada fase ini dilakukan karena sebab-akibat perbuatan. Dilakukan atau tidak karena ganjaran atau hukuman.

Dua, perhatikan ya, konvesional. Ini untuk anak yang sudah menginjak remaja. Moralitas pada tahap ini dilakukan sudah atas dasar kesadaran. Bahwa, sesungguhnya, orang melakukan baik buruk karena sebuah harapan dan mempertahankan ketertiban.

Tiga, masih ingat pertama dan kedua kan?, Pascakonvensional. Inilah yang utama dan adiluhung. Bahwa moralitas manusia mendasarkan pada prinsip batin universal. Kerennya, kata pak Kohlberg, “tingkat otonom” atau prinsip.

Terus bapak-bapak yang terhormat di bagian yang mana nih? Mari dengarkan dan perhatikan dengan sungguh pemeriksaan saya:

Kalau bapak-bapak saya golongkan kepada tingkat pertama, rasa-rasanya tidak mungkin. Why? Karena, konsekuensi fase ini adalah terciptanya pemerintahan yang bersih tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme.

Nyatanya, kok masih banyak yang korupsi. Berjamaah pula. Kalau saya dibilang mengada-ada tanyakan saja coba kepada KPK. Nggak mungkin kan kalau uang E-KTP yang mencapai 23 triliun itu dimakan macan. Kecuali, kalau tidak keberatan bapak saya sebut macan garong. Wow!

Mungkinkah bapak termasuk pada fase kedua?sebentar dulu. Mari periksa. Kata pak Kohlberg, fase kedua ini sudah mengarah pada kesadaran memenuhi harapan. Kalau bapak seorang pejabat sudah seharusnya donk memenuhi harapan rakyat. Nyatanya mana.

Tolong dong, kasihanilah rakyat miskin seperti kami. Bangsa Indonesia tentu menaruh harapan besar kepada orang-orang seperti bapak. Jangan PHP terus. Katanya, Indoensia ini kaya. Terus lari kemana tuh kekayaan? Perasaan tambang emas di Papua itu sudah digali sejak tahun 1965, tapi kenana uangnya. Diumpetin ya. (Tuh kan muka bapak merah)
Bapak-bapak yang terhormat, dengarkan baik-baik, saya tegaskan! (ini serius) dan dengarkan saudara-saudara, moralitas wakil rakyat itu kebanyakan masih fase moralitas yang ketiga!

”Bahwa sesunggunya moralitas dilakukan karena sebab akibat dari perbuatan. Baik ganjaran atau hukuman,”.

Sehingga, kalau sekiranya tidak ketahuan hukum, maka seenaknya saja. Uang sogok diambil, uang rakyat disikat. Ah, Bapak. jangan bercanda donk. Masak kayak anak kecil yang baru usia enam tahun.Katanya sudah sarjana, sudah pengalaman, melanglang buana sana sini. Tapi kok.

Duuuh. Maap pak, tak bermaksud lancang. Ini saya lakukan semata-mata karena saya cinta bapak, cinta tanah air dan bangsa. Kan kita sudah sepakat ingin mewujudkan cita-cita bersama, hidup bersama, sampai mati, selamanya. Begitu bukan?

Kalau nggak terima ya sudah. Katanya nasionalis. Nasionalis kok mengecam-ngecam orang asing tapi duit pemberiannya dimakan?

Saya sih maklum. Karena kata pak Kohlberg, perkembangan moral itu tak selalu sejalan dengan perkembangan usia. Karena boleh jadi, meskipun usianya sudah tua, moralnya mirip moral ala anak-anak. Ya seperti bapak-bapak itu. 

Rabu, 14 Juni 2017

Gelisah Half Day School, Full Day School Menuju Full Time School

GAGASAN Full Day School Muhajir Effendy sejak baru dilantik menjadi Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada 2016 lalu menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat. Sebagian pihak mendukung dan sebagian lainnya menolak gebrakan bapak mentri yang rencananya akan mulai berlaku tahun ajaran 2017/2018 mendatang ini. Konsep Full Day Scholl tiba-tiba seperti magnet yang menarik perhatian. Baik pegiat lembaga pendidikan maupun yang hanya pura-pura giat dan penduli pada nasib pendidikan di tanah air.

Selasa, 13 Juni 2017

Saya Pernah Jadi Copet, Tapi Saya Tidak Terdidik Untuk Mencopet



JAMAN kanak-kanak, saya masih ikut terlibat dalam sebuah permain yang mungkin langka karena barangkali hanya ada di kampung saya. Karena permainan itu saya pun pernah harus rela menelan ludah ketika makanan ringan yang baru saya beli dari toko tiba-tiba raib dirampas teman. Begitu pula nasib teman yang kadang sama nasibnya dengan saya. Kami menyebut permaian itu COPETAN.

Jumat, 09 Juni 2017

Uang Haram Setelah Fatwa Medsos MUI


MAJLIS Ulama Indonesia (MUI) kita memang boleh dibilang produktif dalam urusan fatwa. Tentu masih lekat dalam ingatan masyarakat, MUI baru saja menfatwakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai penista agama. Kini lahir lagi fatwa tentang halal-haram di Media Sosial (Medsos).